Browse
Just In
Community
Forum
Betas
|
Follow/FavSatu Hari
By: NHL-chan
Satu hari, singkat memang, tapi sangat berarti bagi mereka. Author
sucks at summary. Special for HTNH/NHTD SY. Fic angst pertama author yang sama
sekali tidak sedih dan sarat akan kesalahan, warning inside. Dedicated to all
NHL, RnR/CnC/Flame, please!
Rated: Fiction T - Indonesian - Tragedy/Angst - Naruto U., Hinata H.
- Words: 4,789 - Reviews: 33
- Favs: 6 - Follows: 4 - Published: Jul 5, 2011
- Status: Complete - id: 7147562
+ -
Full
3/4 1/2
Expand
Tighten
Naruto by Masashi Kishimoto
Satu
Hari by NHL-chan
Warning
: Typo(s), OOC, AU, fic angst pertama yang sama sekali tidak sedih dan sarat
akan kesalahan, etc.
A
NaruHina fanfiction
Special
for Hari Tragedi NaruHina/NaruHina Tragedy Day Second Year
Don't
like? Don't read!
Normal POV
"Hey, cepat, CEPAT! Nyawa gadis ini ada di tangan kita
sekarang!" perintah seorang dokter wanita berambut pirang panjang diikat
dua. Dengan tergesa-gesa, dokter wanita tadi berlari menuju ruang operasi yang
ada di ujung koridor lantai satu Konoha International Hospital. Di sebelah
dokter tersebut, ada sebuah tempat tidur yang lazim ada di rumah sakit, tempat
tidur itu di dorong beberapa suster yang juga sedang berlari dengan wajah
khawatir. Di atas tempat tidur itu, terbaring lemah seorang gadis berambut
panjang indigo, wajah gadis tersebut sangatlah pucat, nafasnya 'pun tidak
teratur. Tubuhnya yang mungil dibalut sweater tebal dan celana panjang. Padahal
sekarang adalah musim dingin, sekarang 'pun sedang terjadi badai salju yang
lumayan besar. tetapi tubuh gadis itu sangatlah panas, peluh tak kunjung
berhenti mengucur dari kening gadis manis itu. Di belakang para suster, ada
beberapa orang yang ikut mendorong tempat tidur itu, seorang gadis kecil
berambut panjang, pemuda berambut panjang cokelat diikat, dan seorang pria
dewasa berwajah sangar yang sudah berusia sekitar 45 tahunan. Ketiga orang itu
mempunyai warna mata yang sama persis, amethyst.
BRAK!
Pintu ruang operasi dibuka dengan sangat kencang oleh dokter
wanita tadi. Di dalam ruangan operasi, sudah ada lima orang dokter yang sudah
siap melakukan kegiatan operasi.
"Sebelah sini, Tsunade-sama," ucap salah seorang dokter
yang ada di ruangan operasi tersebut. Segera, dokter wanita yang dipanggil
'Tsunade' itu menuju tempat yang dimaksud dokter tadi. Ruangan itu penuh dengan
alat-alat medis. Lampunya 'pun tidak terlalu terang, bahkan terkesan gelap.
Tiba-tiba, salah satu dokter pria mendekati gadis kecil tadi yang hendak
memasuki ruang operasi tadi dan berkata "Gomen, kalian tidak boleh
memasuki ruangan operasi. Silahkan menunggu di luar," perintah seorang
dokter pria berambut hitam dikuncir tadi singkat pada gadis kecil itu yang
sepertinya salah satu anggota keluarga gadis tadi.
"Ta-tapi..."
BRAK!
Terlambat. Pintu ruang operasi itu kembali ditutup. Lampu yang
bertuliskan 'Sedang operasi' di atas pintu menyala. Terdengar suara helaan
nafas yang sarat akan rasa kekhawatiran meluncur dari bibir mungil si gadis
kecil berambut panjang tadi.
'Nee-san...' batin gadis kecil itu. Pemuda yang sedari tadi
berdiri cukup jauh dari pintu ruang operasi berkata pada gadis kecil tadi
"Sudahlah Hanabi, sebaiknya kita tunggu di sini," suara baritone sang
pemuda menggema di sepanjang koridor rumah sakit yang sepi. Hanabi pun hanya
bisa menuruti perkataan sang kakak, Neji Hyuuga. Pria sangar yang sedari tadi
tidak mengeluarkan suara sedikitpun hanya bisa terduduk di salah satu kursi
tunggu bercat putih bersih yang ada di sana. Suasana koridor yang cukup
mencekam ditambah dinginnya musim dingin yang sangat menusuk menambah suasana
muram di sana. Hanabi berkali-kali harus merapatkan jaketnya jika tidak ingin
kedinginan. Pakaian hangat yang mereka kenakan tidak juga cukup untuk
menghangatkan tubuh mereka. Tetapi mereka terlihat tidak peduli. Yang mereka
nantikan saat ini adalah berkhirnya operasi yang sedang dilakukan para tim
medis pada salah satu anggota keluarga mereka, sekaligus pewaris klan Hyuuga,
Hinata Hyuuga.
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
"Nah, ini sarapannya. Makan yang banyak, ya! Aku tinggal
dulu," ucap seorang suster sebelum meninggalakan seorang pasien yang
sedang terduduk di pinggir ranjangnya.
"Ha'i," ucap si pasien. Pasien itu segera mengambil
mangkuk berisi makanan yang tadi dibawakan oleh suster.
"Hah, bubur lagi, bubur lagi. Apakah tidak ada makanan lain
di rumah sakit? Padahal, aku 'kan ingin makan ramen," gerutu si pasien.
Tok, tok tok
"Masuk," ucap si pasien. Pintu 'pun terbuka, terlihat
seorang pemuda tampan berambut raven memasuki kamar inap si pasien. Pemuda itu
menenteng sebuah kantung plastik yang sepertinya berisikan buah-buahan segar.
"Ohayou, Dobe. Bagaimana keadaanmu?" ucap si pemuda.
"Sudah baik. Wah, apakah buah itu untukku?" ucap si
pasien yang dipanggil 'Dobe' oleh si pemuda.
"Hn,"
"Yay, makasih Teme...!"
"Hn,"
'Huh, apa tidak ada kata lain yang bisa kau ucapkan?' gerutu si
pasien dalam hati.
"Oh, ia, kau sudah dengar beritanya?" tanya si pasien.
"Belum, berita apa?"
"Ya ampun, hal ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan
orang-orang di rumah sakit. Katanya, pewaris Hyuuga masuk rumah sakit.
Kabarnya, ia terkena penyakit parah. Kata dokter, kesempatannya untuk hidup
tinggal 10%, kasihan dia. Seandainya ada yang bisa kulakukan untuknya,"
ucap si pasien panjang lebar.
"Hn,"
"Uhh, TEME! Aku sudah bicara panjang lebar, kau malah hanya
menjawab 'Hn'?" teriak si pasien seraya menunjuk-nunjuk pemuda raven yang
dipanggilnya 'Teme' tadi mengunakan jari telunjuknya. Tetapi, si pemuda raven
terlihat sama sekali tidak peduli.
"Hah, lupakan!" sepertinya si pasien sudah mulai kesal,
tapi lagi-lagi si pemuda raven tidak peduli, pemuda raven itu hanya diam
terduduk di pinggir kasur si pasien seraya memandang keluar melalui jendela
yang ada di kamar inap si pasien.
'Entah kenapa perasaanku tidak enak...' batin si pemuda
raven-Sasuke Uchiha dalam hati. Ya, pemuda itu adalah Sasuke Uchiha, pewaris
keluarga Uchiha. Wajahnya yang sangat tampan dan tubuh yang proporsional
membuatnya diidolakan ribuan wanita di seluruh dunia. Maklum, keluarga Uchiha
adalah keluarga yang sangat terkenal, ayah Sasuke-Fugaku Uchiha memiliki
perusahaan yang bergerak di bidang elektronik nomer satu di dunia, yakni
Sharingan Elechtric. Tak heran jika anggota-anggotanya memiliki ribuan fans
yang tersebar di seluruh dunia.
"Teme? Oi, Teme! Kau tidak apa-apa?" si pasien
mengibas-ibaskan tangannya di depan Sasuke. Sontak, hal itu membuat Sasuke
tersentak kaget.
"I-ia, aku tidak apa-apa, Naruto," jawab Sasuke sedikit
tergagap. Si pasien sedikit melongo mendengar jawaban Sasuke.
"Eh, tumben kau memanggilku seperti itu, biasanya kau hanya
memanggilku 'baka' atau 'dobe'. Ada apa Sasuke? Ada masalah?" tanya si
pasien-Naruto Namikaze agak cemas, tidak biasanya sahabat baiknya ini seperti
ini. Sama seperti Sasuke, Naruto juga dianugerahi wajah tampan dan berasal dari
keluarga kaya raya, Namikaze. Keluarganya juga memiliki perusahaan baja nomer
satu di dunia, Namikaze Steel. Perusahaan Uchiha-Namikaze sudah lama bekerja
sama, mereka memiliki hubungan yang sangat baik. Naruto dan Sasuke 'pun sudah
bersahabat sejak mereka berumur 4 tahun.
"Tidak, tidak ada apa-apa. Kau harus istirahat Naruto, aku
pergi dulu," jawab Sasuke sebelum meninggalkan Naruto sendirian yang masih
terheran-heran dengan kata-kata Sasuke.
'Dia kenapa?' batin Naruto cemas. Tak lama setelah itu, Naruto
memilih untuk beristirahat sejenak sampai tengah hari, dia sama sekali tidak
mempedulikan bubur yang diberikan suster ataupun buah-buahan yang diberikan
Sasuke. Yang ada dipikirannya kini hanyalah satu, vonis dokter yang baru saja
diberikan padanya satu jam yang lalu sebelum Sasuke menjenguknya tadi.
Flashback
"Hmm? Untuk apa Shizune nee-chan ke sini?" tanya Naruto
pada seorang dokter yang baru saja memasuki ruangan inapnya.
"Umm...begini Naruto, hasil pemerikaanmu sudah keluar,"
jawab dokter wanita yang bernama Shizune tadi.
"Lalu, bagaimana hasilnya?" tanya Naruto antusias.
Terlihat, raut wajah Shizune berubah, menampakkan kesedihan yang teramat dalam.
"Naruto, kau harus tabah, ya. Dokter memvonismu..."
ucapan Shizune terpotong, digantikan oleh suara isakan tangis dari dokter
berparas manis ini.
"Nee-chan, aku sudah siap, bacakan vonisnya," ucap
Naruto yakin, meskipun matanya sudah berkaca-kaca sekarang. Naruto sadar, dia
harus kuat demi orang-orang yang dia sayangi.
"Kau divonis...menderita leukemia," terkejut, sedih,
senang. Itulah yang dirasakan Naruto saat ini. Terkejut karena divonis
menderita penyakit mematikan, sedih karena dia sadar, leukemia itu bisa
merenggut nyawanya kapan saja, dan senang, karena dengan ini, rasa penasarannya
akan penyakit apa yang dia derita musnah sudah.
"Terlebih lagi..." ucapan Shizune kembali terpotong,
sungai kecil sudah terbentuk di wajahnya. Selama ini, Naruto selalu ramah pada
siapa saja, termasuk penghuni rumah sakit, hal ini membuat siapa saja yang
mengenal Naruto pasti akan menangis mendengar apa yang terjadi pada pemuda beriris
blue sapphire ini, termasuk Shizune.
"Kau... juga terkena kanker otak stadium akhir!"
DUAR!
Dunia dan seisi-isinya serasa hancur, mengubur Naruto yang masih
berada di atasnya.
"A-apa?"
"Hiks...tabah, ya...hiks...Na-naruto," Shizune merengkuh
tubuh Naruto dalam pelukannya. Naruto sudah dianggapnya sebagai adiknya
sendiri, meskipun mereka belum lama berkenalan. Shizune dapat merasakan tubuh
Naruto bergetar, terdengar suara isakan tangis yang meluncur dari bibir Naruto.
Siapapun yang mendengar isakan tangis yang sangat menyayat hati ini pasti akan
ikut menangis, tak terkecuali Shizune.
"Lalu, apakah Tou-san dan Kaa-san mengetahuinya?"
"Be-belum, hiks...,"
"Be-begitu, ya? Terima kasih," ucap Naruto lirih.
Shizune sendiri tidak mengerti mengapa Naruto mengucapkan terima kasih padanya.
Ucapan Naruto tadi seakan-akan hidupnya sudah hampa, sudah tidak ada artinya.
Seraya mengeratkan pelukannya, Shizune mengucapkan sesuatu yang membuat Naruto
kaget setengah mati, setelah mendengar perkataan Shizune, Naruto 'pun tak
sadarkan diri.
Flashback : Of
"Bodoh, jangan bersedih terus..." suara seorang pria
membangukan Naruto dari lamunannya.
"Nii-san,"
"Aku sudah dengar semuanya, sabar, ya..." nii-san
Naruto-Kyuubi Namikaze mengelus puncak kepala Naruto pelan.
"Kenapa...? Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini?"
ucap Naruto sangat pelan, bahkan hingga menyerupai bisikan.
"Sudah, tumpahkan semuanya, semua kesedihanmu. Kalau kau
terus bersedih, kondisimu akan semakin memburuk. Waktu itu kau pernah bilang,
sesulit apapun keadan yang kau alami, kau tidak akan menangis lagi. Sudah,
jangan bersedih terus, kau 'kan laki-laki, masa' laki-laki menangis?"
nasihat Kyuub. Naruto hanya dapat terdiam mendengar penuturan Kyuubi,
setidaknya ia masih bisa merasakan hangatnya kasih sang kakak di penghujung
hidupnya. Cukup, ini sudah lebih dari cukup untuk Naruto.
*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*
CKLEK
"Fuah..." terlihat seorang dokter berambut merah muda
sebahu keluar dari pintu ruang operasi seraya mengusap peluh yang mengalir dari
pelipisnya.
"Bagaimana keadaan Nee-chan? Bagaimana? Cepat jawab!"
tanya gadis kecil itu-Hanabi Hyuuga bertubi-tubi.
"Begini, keadaan kakakmu lumayan...parah,"
"A-apa?" kedua mata amethyst Hanabi membulat. Tangannya
bergerak menutup mulutnya yang sudah terbuka lebar.
"Tumor yang ada di perutnya sudah kami angkat, tapi..."
"Tapi apa?" giliran si pemuda-Neji Hyuuga yang angkat
bicara.
"Muncul beberapa tumor baru yang jauh lebih ganas dari
sebelumnya. Pertumbuhan tumor itu juga sangatlah cepat, harus secepatnya
dioperasi. Karena jika tidak...nyawa kakakmu akan terancam," Pria sangar
tadi-Hyuuga Hiashi 'pun langsung kaget bukan main mendengar perkataan si
dokter.
"La-lalu, apa masalahnya? Jika kakakku sudah dioperasi, dia
ti-tidak akan kenapa-napa, 'kan?" ucap Hanabi agak terbata.
"Masalahnya...keadaan kakakmu saat ini tidak memungkinkan
untuk melakukan operasi, jadi...jika kakakmu keadaannya tidak juga pulih sampai
besok malam, saya tidak yakin..." raut wajah kesedihan terpampang jelas di
wajah cantik si dokter tadi. Kaki Hanabi langsung lemas, tubuhnya langsung
jatuh terduduk di lantai. Lain halnya dengan Neji, dia terlihat sangat
frustasi, kedua mutiara amethyst-nya sudah berkaca-kaca, tapi setidaknya dia
terlihat lebih tegar dari Hanabi.
"Dan meskipun operasi bisa dilaksanakan...kemungkinan
berhasilnya operasi hanya 15%. Ditambah thalasemianya...,"
Tap, tap, tap.
Suara langkah Hiashi bergema di sepanjang koridor rumah sakit. Si
dokter tadi hanya bisa menatap nanar ke arah Hiashi. Perlahan tapi pasti,
langkah kaki Hiashi mengantarnya menuju taman rumah sakit. Hal yang selanjutnya
terjadi, adalah terdengarnya suara-suara 'aneh' dari tempat taman itu.
*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*
"Ti-tidak mungkin. Ka-kau pasti bercanda 'kan?"
"Maafkan kami, nyonya Namikaze," ucap Shizune lirih.
"Tidak mungkin, hiks, tidak mungkin..." air mata mulai
menggenang di pelupuk mata Kushina Namikaze-ibu Naruto.
"Benarkah tak ada cara lain?" tanya Minato Namikaze-ayah
Naruto. Shizune hanya bisa menggeleng lemah sebagai jawaban dari pertanyaan
Minato tadi. Tangis Kushina langsung pecah seketika, biasanya Kushina adalah
wanita yang kuat dan tegar, meskipun diterpa masalah yang berat sekalipun, dia
tidak pernah menangis. Baru kali ini, Kushina menangis histeris, Minato 'pun
terihat terpukul sekali mendengar penuturan Shizune tadi.
"Sebaiknya, besok anda berdua terus menemaninya seharian.
Ka-karena, besok adalah...hari terakhirnya..." Shizune hanya bisa menunduk
saat mengatakannya. Suasana di ruangan kerja Shizune benar-benar diliputi duka.
Kushina masih tak henti-hentinya menangis, orang tua mana yang tidak menangis
mendengar anak semata wayangnya akan meninggal besok?
"Baiklah, kami mengerti. Kami akan menemaninya sampai
detik-detik terakhir hidupnya. Ka-kami permisi dulu," ucap Minato sebelum
keluar dari ruangan Shizune bersama Kushina.
"Haah..." hela Shizune.
"Kenapa, ya orang baik selalu meninggal cepat?" gumam
Shizune pelan, entah pada siapa. Penyakit Naruto memanglah sudah parah, sudah
terlambat dan tidak bisa disembuhkan. Baik Shizune maupun dokter-dokter yang
lain sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan Naruto, namun
hasilnya nihil. Selama ini, Naruto sama sekali tidak pernah menunjukkan bahwa
dirinya sedang sakit, selalu tersenyum dan tertawa pada siapapun. Sungguh
sebuah hal yang mengejutkan kalau dia sedang sakit parah.
Tok, tok, tok
"Silahkan masuk," ucap Shizune. Sebisa mungkin, Shizune
menyembunyikan kesedihannya di depan orang lain.
"Shizune-senpai, anda dipanggil Tsunade-sama," ucap
suster wanita yang tadi mengetuk pintu ruangan Shizune.
"O-oh, baiklah. Aku segera ke sana," Sesegera mungkin,
Shizune pergi menuju ke ruang Tsunade yang ada di lantai dua.
"Permisi, ini aku, Shizune,"
"Masuk,"
"Untuk apa Tsunade-sama memanggilku," tanya Shizune
penasaran.
"Begini, kau pasti sudah dengar tentang pewaris Hyuuga itu
'kan? Aku ingin, Naruto menghiburnya. Keadaannya agak gawat, harus segera
dioperasi. Tapi, keadaannya buruk, dia mengalami depresi karena ibunya belum
lama ini meninggal. Jadi, biar-,"
"Baiklah, aku akan memberitahu Naruto," ucap Shizune
sebelum pergi meninggalkan Tsunade sendirian di ruangannya.
"Anak itu, aku belum selesai bicara, dia sudah pergi.
Benar-benar..." Tsunade hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah
Shizune yang menurutnya mirip dengan anak-anak.
'Hah, Naruto...'
*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*
"Umm, begitu. Baiklah, antarkan aku ketempat-nnggg siapa tadi
namanya? Hinata, yak Hinata!" ucap Naruto bersemangat disertai cengiran
lima jari andalannya.
"Ia, semangati dia seharian ini, ya!" ucap Shizune
riang. Padahal, hatinya sudah menangis saat ini. Meskipun ajal hampir menjemput
Naruto, dia masih mau tersenyum dan membantu orang lain.
"Baiklah, dia ada di mana sekarang?"
"Di kamar nomer 156 lantai tiga,"
"Eh? EEH? Kamar angker itu?" Shizune 'pun hanya
mengangguk mengiyakan pertanyaan Naruto.
"Hii...bukannya kata orang-orang di sana ada Sadako,
ya?" ucap Naruto takut seraya membayangkan rupa Sadako yang memang sudah
tidak usah diragukan lagi 'kecantikannya'.
"Haduh, masa' anak 16 tahun masih percaya begituan? Sudah,
ayo cepat temui Hinata!" Shizune mendorong Naruto sampai Naruto jatuh
dengan tidak elitnya.
"Ia, ia," ucap Naruto pasrah sambil mengelus-elus hidung
mancungnya yang baru saja mencium mesra lantai koridor rumah sakit.
'Huh, Shizune nee-chan tega sekali. Bisa-bisa hidungku jadi
hancur, deh. Ngomong-ngomong, kamar Hinata di mana, ya? Nngg...152, 154, ah!
157! Ini dia kamarnya!'
"Ohayou, Hinata? Bukakan pintunya, dong!" Naruto
mengetuk-ngetuk pintu kamar Hinata. Berharap sang empunya kamar membukakan
pintu dan mempersilahkan Naruto masuk.
"Ma-masuk saja, tidak dikunci 'kok," jawab seseorang
dari dalam kamar tadi.
CKLEK
"Ohayou Hina-GYAAA! SADAKOO!" Naruto berteriak histeris
melihat seorang gadis yang sedang duduk di atas ranjangnya dengan wajah pucat
dan poni yang menutupi matanya. Rambutnya yang lurus sepinggang dan sedikit
acak-acakan menambah kesan menyeramkan pada imej gadis tadi.
"E-eh? Sadako? Di mana?" gadis yang ada di dalam kamar
tadi terlihat terkejut dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar
inapnya.
"Oh, kamu Hinata? Aku kira Sada-" ucapan Naruto
terpotong, matanya membelalak sebentar.
"Ng? Sadako? Aku mirip Sadako, ya?" Hinata menoleh pada
Naruto. Jari-jari lentiknya menyisir rambutnya yang tadi berantakan. Saat
rambutnya sudah rapih, imej Sadako yang tadi menempel padanya hilang sudah,
digantikan imej wanita cantik nan anggun.
'Kami-sama, dia cantik sekali...' batin Naruto terpana. Hinata
sedikit heran karena Naruto tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan
memandang lekat wajahnya. Hinata sendiri tidak bisa melihat Naruto dengan
jelas, karena tempat Naruto berdiri saat ini cukup jauh dari ranjang Hinata dan
tidak terekspos sinar matahari. Setelah hening sebentar, Naruto mulai sadar
dari lamunannya.
"Ma-maaf! Habisnya, saat aku melihatmu, ponimu yang panjang
menutupi wajahmu, sih. Aku jadi mengiramu Sadako, deh. Maaf, ya," ucap
Naruto salah tingkah seraya melangkah menuju ranjang Hinata dan duduk di sana.
"Ti-tidak a-pa-apa" ucap Hinata terbata-bata.
"Lho? Bukannya tadi kau tidak gagap ya? Sekarang 'kok jadi
gagap, sih?" Naruto sedikit memiringkan kepalanya tanda heran dengan
perubahan gaya bicara Hinata yang tadinya biasa saja jadi sedikit malu-malu.
Hinata hanya menunduk menanggapi pernyataan Naruto. Sepertinya
Hinata mencoba menghindari kontak mata dengan Naruto kini terlihat amat jelas
dan kian dekat dengan wajah Hinata. Semburat-semburat merah kini mulai terlihat
menghiasi pipi chubby
Hinata, menambah kesan imut pada gadis berambut indigo ini.
"Oi, kau tidak apa-apa?" Naruto mengibas-ibaskan
tangannya di depan wajah Hinata. Sontak Hinata langsung mengangkat wajahnya
yang tadi sempat menunduk. Hinata baru saja ingin menjawab pertanyaan Naruto
tadi, tetapi suaranya sedikit tercekat di tenggorokannya. Iris amethyst-nya tepat
menatap iris blue sapphire
Naruto yang bersinar diterpa sinar mentari yang mengintip dari celah-celah
gorden kamar Hinata. Rona merah yang tadinya masih berupa semburat-semburat
tipis di pipi Hinata kini kian menjadi-jadi, wajah Hinata sekarang sudah
semerah tomat segar kesukaan Sasuke.
"Eh? Hinata? Kau tidak apa-apa? Wajahmu merah! Kau sakit? Di
sebelah mana sakitnya? Aku panggilkan dokter, ya?" pertanyaan bertubi-tubi
menghujam Hinata, telapak tangan Naruto sudah menempel di kening Hinata, guna
mengecek seberapa panasnya tubuh Hinata.
"A-aku ti-tidak apa-apa, Na-naruto-san"
"Benarkah? Tapi wajahmu merah. Eh? Tunggu dulu, kau tahu
namaku?"
"I-ia, Shizune-san sudah memberitahuku,"
"Oh, begitu. Jangan panggil aku 'Naruto-san', dong! Panggil
'Naruto' atau 'Naruto-kun' saja, sepertinya kita seumuran, OK?" ujar Naruto
disertai cengiran khasnya.
"I-ia Naruto-kun..." Hinata tersenyum manis, membuat
setiap orang yang melihatnya pasti ingin mencubit pipinya, tak terkecuali
Naruto. Tapi Naruto sadar diri kalau mereka baru berkenalan, jadi Naruto
urungkan niatnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Naruto berbasa-basi.
"Ba-baik. Na-naruto-kun sendiri ba-bagaimana?"
"Baik, kok!" ucap Naruto berbohong.
"Oh, baguslah," Hinata tersenyum lembut.
"Anu, u-untuk apa Naruto-kun ke sini?"
"Lho? Shizune nee-chan belum memberitahumu?" Hinata
hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya.
"Aku akan menemanimu seharian ini! Boleh 'kan?"
"Te-tentu saja,"
"..."
"..."
Keheningan melanda mereka berdua, masing-masing mereka tenggelam
dalam pikirannya masing-masing.
"Hinata..." Naruto membuka suara.
"Ya?"
"Kenapa kau besedih?"
"Da-dari mana Naruto-kun tahu?"
"Shizune nee-chan," jawab Naruto singkat.
"Be-begini, belum lama ini, Okaa-san meninggal. Aku belum
rela, setiap hari aku selalu menangis, sehingga kesehatanku menurun. Aku juga
sudah dengar dari dokter, aku harus segera dioperasi pengangkatan tumor. Tapi,
tubuhku ini lemah sejak kecil, ditambah lagi aku depresi ditinggal
Okaa-san," terang Hinata panjang lebar, Naruto hanya bisa
mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Kata dokter, kalau keadaanku belum juga pulih sampai nanti
malam, nyawaku terancam. Aku sudah tak punya harapan untuk hidup," ucap
Hinata seraya tersenyum pahit. Hinata sudah sangat berutus asa, harapannya
untuk hidup sudah tinggal setitik.
"Jangan menyerah dulu! Meskipun hanya 1%, harapanmu untuk
hidup masih ada! Okaa-sanmu juga pasti sedih melihatmu begini. Kau tidak mau
melihat Okaa-sanmu sedih, 'kan?" Hinata hanya menggeleng lemah menanggapi
pertanyaan yang dilontarkan Naruto.
"Nah, kalau begitu jangan sedih lagi! Kondisimu harus pulih
hari ini, supaya nanti malam kau bisa menjalani operasi. Berbeda denganku, kau
masih punya harapan untuk hidup, meskipun hanya 10%,"
"A-apa maksud perkataan Naruto-kun? Apanya yang
berbeda?" selidik Hinata.
"Bukan apa-apa. Oh, ia. Kau sudah makan?" tanya Naruto
mengalihkan perhatian.
"Be-belum,"
"Wah, sama denganku. Kita kantin rumah sakit, yuk!" ajak
Naruto bersemangat.
"Ta-tapi, kita masih belum boleh makan sembarangan,"
"Tenang saja, kantin rumah sakit makanannya sehat semua, kok!
Ayo!" Naruto langsung menarik tangan Hinata dan menyuruh Hinata
mengikutinya.
"Na-naruto-kun, tu-tunggu aku,"
*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*
"Hihihi, benarkah?"
"Ya! Karena itu dia selalu kabur saat jam olahraga,
hahaha," Naruto tertawa lepas, sama halnya dengan Hinata. Baru kali ini
Hinata tertawa lepas seperti saat ini. Tak jarang orang-orang yang berlalu
lalang di sekitar mereka menatap mereka heran. Toh, Naruto dan Hinata sama
sekali tak peduli, mereka tetap saja bercanda dan tertawa-tawa.
"Oh, ia. Katanya kamar inap yang kau tempati itu angker, lho.
Mau kuceritakan kisahnya tidak?" tanya Naruto seraya memasang tampang
horror. Hinata hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Naruto 'pun mengambil
nafas sejenak dan memulai ceritanya.
"Dulu, kamar yang kau tempati adalah kamar mayat. Pernah
suatu hari ada wanita yang kecelakaan, wanita itu berambut cokelat panjang
sepinggang. Kalau tidak salah nama wanita itu adalah Yakumo. Mobil yang
ditumpanginya menabrak kereta listrik yang sedang melintas. Konon, mayat Yakumo
itu di simpan di kamar mayat rumah sakit ini. Sudah tiga minggu mayat Yakumo
berada di sana, tetapi tidak ada seorangpun keluarganya yang datang
mengambilnya. Akhirnya, mayat Yakumo itu dikremasi oleh pihak rumah sakit dan
abunya disebar di sekitar tempat kecelakaannya," Naruto berhenti sejenak
untuk mengambil nafas. Hinata mulai ketakutan mendengar kisah yang diceritakan
Naruto.
"Tak lama setelah itu, kamar mayat itu dibongkar dan
dijadikan kamar pasien. Kata suster-suster rumah sakit ini, setiap malam Rabu,
dari dalam kamar itu muncul suara kereta api dan suara wanita yang sedang
meringis kesakitan. Tak jarang pada pagi harinya, ada beberapa helai rambut
panjang dan bercak-bercak darah di kamar itu. Bahkan sebulan yang lalu, roh
Yakumo menampakkan diri sedang berjalan di koridor lantai tiga dan sedang duduk
di ranjang kamar nomer 156 alias kamarmu. Sudah banyak suster-suster yang
melihat penampakannya. Kaki kirinya putus dan berdarah-darah, kepalanya juga
bocor dan penuh luka. Hii...aku jadi merinding membayangkannya," cerita
Naruto panjang lebar.
"Be-benarkah? Kenapa Naruto-kun tahu kisah itu?"
"Aku sudah lama ada di rumah sakit ini. Tapi, nanti malam aku
sudah tidak di rumah sakit ini lagi, kok!,"
"Lho? Na-nanti malam Naruto-kun sudah diperbolehkan pulang,
ya?" tanya Hinata.
"I-ia, nanti sore aku sudah tidak sakit lagi!" jawab
Naruto berbohong.
"Oh, syukurlah. Tapi walau Naruto-kun sudah sembuh,
Naruto-kun mau 'kan sesekali mengunjungiku?" tanya Hinata penuh harap.
Naruto 'pun hanya mengangguk dan menjawab "Ia,". Kemudian mereka
melanjutkan sarapan mereka disertai obrolan-obrolan ringan yang sesekali
diiringi canda tawa. Setelah menghabiskn sarapan mereka dan membayarnya, mereka
memilih untuk berjalan-jalan sebentar di taman rumah sakit guna menghirup udara
segar. Mereka memilih untuk duduk di salah satu kursi yang berada di sebelah
tiang jam besar yang sudah mulai berkarat.
'Jam 11.23, ya,' batin Naruto lirih saat melihat jam yang ada di
samping tempat ia duduk saat ini.
Nyuut
'Cih, kepalaku sakit sekali,' Naruto memegangi kepalanya yang
berdenyut-denyut seraya meringis kecil. Hinata yang mendengar Naruto meringis
dan melihat Naruto sedang memegangi kepalanya terlihat agak cemas, Hinata 'pun
bertanya "Na-naruto-kun? Kau tidak apa-apa?" kekhawatiran terlihat
jelas di wajah cantik Hinata.
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Naruto berbohong lagi.
"Na-naruto-kun menginap di kamar nomer berapa?" tanya
Hinata lembut.
"Nomer 213," jawab Naruto seadanya. Rasa sakit di
kepalanya tak kunjung berhenti, bahkan terasa semakin sakit dan menjalar ke
mana-mana.
"Ka-kalau begitu, bagaimana kalau kita ke kamarmu saja?
Sekarang sudah siang, kita mengobrol di kamarmu saja," tawar Hinata. Naruto
'pun hanya mengangguk menyetujuinya tawaran Hinata. Mereka 'pun berjalan menuju
kamar 213-kamar Naruto. Keheningan melanda mereka saat mereka menuju kamar
Naruto. Hinata yang mood-nya
sedang baik hanya bersenandung kecil seraya menyapa suster-suster maupun para
pasien yang kebetulan ditemuinya. Sedangkan Naruto tetap terdiam menahan rasa
sakit di sekujur tubuhnya. Setelah berjalan lumayan lama, Naruto dan Hinata
akhirnya sampai di kamar Naruto. Perabotan yang ada di kamar itu terlihat masih
baru dan tertata dengan sangat apik. Jendela yang dilapisi gorden berwarna biru
laut terbuka dan menyuplai udara segar.
"Hmm...di sini enak sekali, berbeda jauh dengan kamarku,
ya," ucap Hinata pelan, namun masih mampu ditangkap oleh Naruto.
"Haha, benarkah?" jawab Naruto seraya tertawa kecil utuk
menyembunyikan keadaannya. "Ia, kamarku cenderung gelap dan suram. Aku
sering merasa takut jika ditinggal Hanabi dan Neji nii-san sendirian,"
jawab Hinata. Naruto yang kaget saat Hinata menyebut nama 'Hanabi' 'pun berkata
"Kau kenal Hanabi? Hanabi Hyuuga yang itu?". Hinata pun menoleh pada
pemuda blond
ini dan menjawab "Tentu saja, Hanabi itu adik kandungku,".
Hening sejenak...
"A-APPAA?" Naruto berteriak histeris mendengar jawaban
Hinata tadi. Hinata hanya bisa mengernyit heran dan bertanya "Me-memangnya
kenapa?". "Tidak, hanya saja, Hanabi sering datang ke mansion
Namikaze untuk bertemu adik sepupuku, Konohamaru. Wah, tak kusangka kau adalah
kakaknya Hanabi," ucap Naruto riang. Hinata hanya tersenyum melihat raut
muka Naruto yang 180 derajat berbeda dari ekspresinya saat di taman tadi.
Hinata sangat suka ekspresi Naruto yang ceria, hatinya selalu berdebar-debar
dan wajahnya selalu bersemu merah saat melihat wajah Naruto yang tersenyum dan
tertawa. Rasanya saat bersama Naruto, Hinata selalu merasa nyaman dan
terlindungi. Meskipun waktu perkenalan mereka yang terbilang sangat singkat,
Hinata merasa sudah mengenal Naruto begitu baik dan lama. Rasaya sungguh aneh,
tapi Hinata suka itu.
"Haha, aku sering merasa lucu, Konohamaru selalu salah
tingkah saat Hanabi mengunjunginya. Jangan-jangan Konohamaru menyukai
Hanabi," ucap Naruto lagi. Hinata hanya terkikik kecil mengingat Hanabi
yang selalu salah tingkah dan bersemu merah saat tertangkap basah sedang
diam-diam meninggalkan rumah untuk bertemu teman dekatnya, ternyata teman
dekatnya itu Konohamaru.
Cklek
"Permisi," seorang suster memasuki kamar inap Naruto
tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Naruto dan Hinata 'pun langsung menoleh
pada sang suster, Naruto 'pun bertanya "Ada apa, Sus?".
"Saya mencari nona Hinata Hyuuga. Saya dengar dia berada di
kamar anda, tuan Namikaze," jawab sang suster lembut tanpa melepas senyum
yang sedari tadi terpasang di wajah ayu sang suster.
"Anda mencariku?" Hinata membuka suara.
"Oh, anda nona Hyuuga? Sekarang sudah pukul satu lebih.
Saatnya melakukan pemeriksaan untuk operasi anda nanti malam," Wajah
Hinata mendadak muram, Naruto yang menyadari hal itu 'pun menyuruh suster tadi
untuk keluar sebentar menggunakan isyarat matanya. Suster tadi 'pun mengerti dan
keluar sebentar meninggalkan Naruto dan Hinata berdua. Setelah beberapa detik
keheningan melanda, Naruto 'pun berujar "Hinata..." Hinata yang
merasa dipanggil 'pun menoleh seraya tersenyum. Senyum yang dipaksakan.
"A-aku tidak apa-apa Naruto-kun," ucap Hinata berbohong.
Lidahnya mungkin bisa berbohong, namun matanya tidak, dan Naruto tahu itu.
"Hinata...lakukan pemeriksaan dan operasi itu," ucap Naruto pelan.
Hinata terlihat bimbang, jika ia melakukan operasi itu, kemungkinan
keberhasilan operasinya hanya 15%. Jika operasinya gagal, hal itu hanya akan
membebani keluarga Hinata. Namun jika berhasil, nyawanya juga masih terancam
penyakit thalasemia yang sudah dideritanya sejak lahir. Apalagi, thalasemia
belum ada obatnya. Hinata tidak mungkin bisa bertahan lebih lama lagi.
"Jika operasinya tidak berhasil, kita akan mati
sama-sama," Kedua iris amethyst
Hinata membulat. Air mata yang sedari tadi dibendungnya mengalir
sudah."A-apa?"
"Sebenarnya...hidupku sudah tidak lama lagi," Naruto
berhenti sebentar dan berkata lagi "Aku hanya bisa bertahan sampai nanti
malam, sekitar pukul 20.00," Naruto menunduk. Rambutnya menutupi wajah
tampannya. Dan diluar dugaan, Hinata tersenyum. "Kalau begitu...ayo kita
mati sama-sama," ucap Hinata yakin.
"He? Apa kau sudah gila?" Hinata hanya diam.
"Baiklah, sekarang jalani pemeriksaan itu dan lakukan operasi. Suster! Kau
bisa bawa Hinata sekarang," perintah Naruto pada suster yang sedari tadi
menunggu mereka berdua selesai berbicara di luar. Setelah suster tadi menjawab
'Baik', Hinata pergi ke luar atas inisiatifnya sendiri. Sebelum Hinata ke luar,
pandangan mereka berdua sempat bertemu beberapa detik. Seakan mengetahui isi
hati masing-masing, mereka berdua tersenyum sebelum Hinata meninggalkan Naruto
sendirian di kamarnya.
'Selamat tinggal, Hinata...'
*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*
"Hah, sudah satu jam lebih!" Hanabi terlihat tidak sabar
menunggu berakhirnya operasi sang kakak. Ya, pemeriksaan kesehatan Hinata
sangat baik, bisa dibilang ini adalah keajaiban.
Cklek
Pintu ruang operasi terbuka. Tidak seperti yang diperkirakan Neji,
semua dokter yang tadi mengoperasi Hinata keluar dari ruang operasi. Hiashi
hanya bisa mengernyit heran melihat semua dokter keluar dengan wajah muram,
Hiashi 'pun tidak bisa menahan diri untuk bertanya "Ada apa ini?"
"Operasinya...gagal,"
Di lain tempat...
"NARUTOOOOO..! Jangan tinggalkan Kaa-chaan!" Kushina
menangis meraung-raung di depan sosok pemuda yang sudah terbujur kaku tak
bernyawa. Minato sebisa mungkin menenangkan sang istri, matanya memang tak
menitikkan air mata, namun hatinya kini sudah menangis darah. Lain halnya
dengan Shizune yang memilih untuk berada di luar kamar Naruto. Ia memeluk erat sepucuk
surat dan menangis dalam diam. Kyuubi yang biasanya selalu tegar dan tidak
pernah menangis, kali ini harus menyerah untuk tidak meneteskan air mata.
Matanya yang biasanya merah menyala kini terlihat redup. Mulutnya tak henti
memanggil nama adik kandung semata wayangnya itu. Isakan tangis menggema di
seluruh ruangan.
Langit kota Konoha 'pun turut bersedih, badai salju menyelimuti
seluruh penjuru kota maju ini. Kota Konoha yang biasanya ramai kini sepi bak
kota mati. Langitnya gelap, angin berhembus sangat kencang. Seakan menjadi
saksi bisu perginya dua insan manusia yang saling mencintai. Bersama-sama.
From : Naruto
To : Hinata
Hinata, aku tahu saat kau
membaca surat ini, aku sudah tidak ada di dunia ini lagi :'( Atau mungkin, kau
tidak bisa membaca suratku ini? Aku harap itu tidak terjadi :( Operasinya
bagaimana? Apakah berhasil? Aku tahu waktu perkenalan kita sangatlah singkat,
tapi aku selalu merasa nyaman saat bersamamu. Entah mengapa hatiku yang tadinya
gundah bisa menjadi tenang kembali saat melihat senyummu. Apakah ini yang
namanya cinta? Ah, lupakan saja. Kau harus sering-sering 'mengunjungiku', ya!
^_^ Lalu, tolong taruh surat ini di atas makamku, ya! Dan jika operasinya
gagal...aku ngin satu 'rumah' denganmu! Aku ingin selalu bersamamu. Sudah dulu,
ya. Aku akan pergi ke tempat yang lebih baik! Kau tidak usah meyusulku jika
belum dipanggil! Sayonara Hinata-hime! :-*
I will love you in the past,
now and forever!
With love
Naruto Namikaze
Hanya
satu hari aku mengenalmu...
Hanya
satu hari aku bersamamu...
Meskipun
begitu,
Dengan
begitu cepat aku bisa mengerti dirimu
Dan
dengan begitu cepat pula aku mencintaimu
Dulu,
sekarang, dan selamanya
OWARI
Tidak sedih? Tidak bagus? Abal? Jelek? Tolong beritahu lewat
review, ya! Review anda sangat berarti untuk perkembangan fic author abal ini!
Tolong review, ya? Please!
Mind to
RnR/CnC/Flame?
NHL-chan
Help
. Privacy . Terms of Service . Top

Wee
BalasHapusyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy
Hapus