Sabtu, 23 April 2022

17 Tahun Pembunuhan Munir, Simak Enam Fakta Ini

Pengendara melintas di dekat mural tentang aktivis HAM Munir Said Thalib di Jakarta, Senin, 7 September 2020. Mural tersebut dibuat untuk mengenang mendiang pejuang kemanusiaan Munir Said Thalib yang meninggal dunia setelah diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004, 16 tahun silam. ANTARA/Rivan Awal Lingga

Reporter: 
Editor: 

Ahmad Faiz Ibnu Sani

 Pengendara melintas di dekat mural tentang aktivis HAM Munir Said Thalib di Jakarta, Senin, 7 September 2020. Mural tersebut dibuat untuk mengenang mendiang pejuang kemanusiaan Munir Said Thalib yang meninggal dunia setelah diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004, 16 tahun silam. ANTARA/Rivan Awal Lingga

TEMPO.COJakarta - Munir Said Thalib tewas diracun dalam penerbangannya dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Ia dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) yang berintegritas. Suka membantu masyarakat kecil seperti dalam kasus penggusuran, kekerasan, perburuhan, dan lainnya. Meski sudah 17 tahun berlalu, kematiannya masih diselimuti misteri.

Melansir dari laman Kontras, pembunuhan Munir merupakan sebuah serangan yang dilakukan secara sistematik serta ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan yang teroganisasikan itu diyakini melibatkan beberapa pihak dari kalangan berpengaruh.

Hal tersebut membuat publik mempertanyakan komitmen pemerintah untuk melindungi pembela hak asasi manusia (HAM).

Berikut beberapa fakta atas pembunuhan Munir:

Meninggal Saat Hendak Berangkat Menuntut Ilmu

Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor GA-974 di usianya yang ke-39 tahun. Saat itu ia pergi untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht. Munir meninggal dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda

Dibunuh Menggunakan Racun

Dua jam sebelum tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, Munir meninggal. Ia sempat kesakitan sebelum menghembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 08.10 waktu setempat.

Dua bulan setelah kematian Munir, Kepolisian Belanda mengungkap bahwa ia tewas akibat diracun. Hal tersebut diketahui setelah senyawa arsenik ditemukan di dalam tubuhnya usai autopsi dilakukan, dilansir dari etan.org. Senyawa itu diketahui terdapat di dalam air seni, darah, dan jantung yang jumlahnya melebihi kandungan normal.

Terlibatnya Pihak Garuda

Kematian Munir menyeret berbagai pihak dari maskapai Garuda Indonesia. Mereka adalah pilot Garuda, Pollycarpus, dan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan.

Pollycarpus yang pada saat kejadian mengaku sebagai kru tambahan dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan dengan memasukkan racun arsenik pada tubuh Munir.

Ia sempat dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, dalam prosesnya, keputusan hakim berubah-ubah. Setelah memohon peninjauan kembali, hukumannya menjadi 14 tahun penjara.

Pada November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018. Sementara itu, Indra Setiawan diduga turut membantu Pollycarpus menjalankan aksinya.

Terdapat Banyak Kejanggalan

Ada banyak kejanggalan dalam kasus pembunuhan ini. Pollycarpus yang saat itu berstatus sebagai pilot ternyata sedang dalam masa cuti. Namun, Indra Setiawan memberikan surat tugas padanya.

Tiga hari sebelum keberangkatan, Munir diketahui menerima telepon dari seseorang bernama Pollycarpus. Dalam telepon itu Pollycarpus memastikan Munir untuk naik penerbangan GA 974.

Dugaan Keterlibatan BIN

Deputi V BIN saat itu, Muchdi Prawiro Pranjono, sempat menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan munir. Namun putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008 membebaskannya dari segala dakwaan.

Selama sebelum dan sesudah Munir dibunuh diduga terdapat lebih dari 40 kali komunikasi telepon antara Muchdi dan Pollycarpus. Bahkan pada hari Munir dibunuh terdapat 15 kali hubungan telepon Muhdi dangan Pollycarpus.

Sementara itu, Indra mengaku mendapat permintaan dari BIN, namun dirinya membantah telah terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir tersebut.

Hilangnya laporan Tim Pencari Fakta

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran kasus ini. Dokumen hasil investigasi diserahkan secara langsung kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005.

Namun, hingga akhir masa kepemimpinan SBY dokumen tersebut tak kunjung dibuka ke publik.

Saat rezim berganti ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi, dokumen hasil laporan TPF tiba-tiba dinyatakan hilang. Hilangnya laporan itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016. Ketika itu, KontraS mendatangi kantor Sekretariat Negara meminta penjelasan dan mendesak segera dilakukan pengumuman hasil laporan TPF pembunuhan Munir. 

"M. RIZQI AKBAR"

Mengenang Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang Usai Peristiwa Kudatuli 1996

 Penulis Wahyuni Sahara | Editor Wahyuni Sahara JAKARTA, KOMPAS.com


Penyair Wiji Thukul Wijaya (33)(Hariadi Saptono)

 - Tak hanya sebagai aktivis, nama Wiji Thukul selama ini dikenal sebagai seorang penulis puisi perjuangan.  Yang khas dari puisi Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan menulis puisi tentang protes, melainkan sosoknya menjadi simbol akan protes itu sendiri. Karena itu, puisinya gampang melebur dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes. Salah satu kalimatnya yang sangat terkenal adalah bait terakhir pada puisi berjudul Peringatan, yaitu "Hanya ada satu kata: Lawan!". Dalam Seri Buku Tempo, Prahara Orde Baru Wiji Thukul yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia menjelaskan bahwa sebenarnya kata 'lawan' tersebut tak murni ide Wiji Thukul. 

Ia terpengaruh oleh sebuah pusi yang dibuat oleh Pardi, temannya di teater Jagat yang merupakan seorang tukang kebun. Puisi Pardi itu berjudul Sumpah Bambu Runcing. Pada sajak Pardi, kalimat Hanya ada satu kata: lawan, yang digunakan untuk sebuah sajak mengenai perjuangan melawan Belanda oleh Thukul diambil untuk perjuangan buruh. Nama asli Wiji Thukul sesungguhnya adalah Wiji Widodo. Nama Widodo diubah menjadi Thukul oleh Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra. Wiji Thukul berarti biji tumbuh. Tidak hanya dekat, Wiji Thukul bahkan meraih penghargaan pada 1991: Werheim Encourage Award dari Wertheim Stichting Belanda, bersama WS Rendra.

Wiji Thukul lahir dari keluarga penarik becak pada 26 Agustus 1963 di kampung Buruh Sorogenen, Solo.  Setelah lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, tapi tidak tamat, hanya sampai kelas II. Ia berhenti sekolah untuk bekerja agar adik-adiknya bisa melanjutkan studi. Pekerjaan pertama Wiji Thukul adalah sebagai loper koran. Lalu ia menjadi calo tiket, dan tukang pelitur furnitur di perusahaan mebel. Ia juga mengamen puisi ke kampung dan kota-kota. Baca juga: [POPULER NASIONAL] Peristiwa Kudatuli | Tatap Muka di Sekolah di Luar Zona Hijau Setelah menikah dengan Diah Sujirah alias Sipon pada Oktober 1988, ia hidup membantu istrinya dengan usaha sablon.

 Kemudian ia menobatkan diri sebagai aktivis pembela buruh. Nama Wiji Thukul ada di barisan demonstran kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi besar di Solo. Lalu, ia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD).  Baca juga: Peneliti Sejarah Kritik Narasi soal Kudatuli dalam Buku Pelajaran Peristiwa Kudatuli Awal mula hilangnya Wiji Thukul tak lepas dari peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias Kudatuli. Saat itu, PRD yang di bawah pimpinan Budiman Sudjamitko dituding oleh pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, sebagai dalang di balik peristiwa itu. Sehingga, para aktivis PRD diburu, termasuk Wiji Thukul. Ketika itu, Wiji Thukul yang  berada di Solo sebagai Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat atau Jaker yang merupakan badan yang merapat ke PRD. Baca juga: Peristiwa Kudatuli, Sutiyoso, dan Hubungannya dengan Megawati... Widji Thukul kabur usai beberapa anggota kepolisian mendatangi rumahnya. 

Dalam pelarian, Wiji Thukul harus mencuri kesempatan untuk bertemu dengan Sipon. Paling sering keduanya bertemu di Pasar Klewer. Setiap bertemu, mereka membuat janji untuk pertemuan selanjutnya. Saat itu pula, Wiji Thukul menceritakan beberapa daerah yang dikunjunginya dan beberapa kali ia meminta duit kepada sang istri untuk membiayai hidup pelarian. Selama pelarian, ia memiliki nama beberapa nama Samaran yaitu Paulus, Aloysius dan Martinus Martin. Ia juga sering memakai topi supaya tidak mudah dikenali. Selain itu, Wiji Thukul juga kerap menggunakan jaket saat keluar rumah untuk menyamarkan badannya yang kerempeng. Menghilang Pada tahun 1998, Wiji Thukul menghilang. Hilangnya Wiji Thukul secara resmi diumumkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2000. Kontras menyatakan hilangnya Wiji Thukul sekitar Maret 1998 karena diduga berkaitan dengan aktivitas politik yang dilakukan oleh Wiji Thukul sendiri. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Sejak dinyatakan hilang, sampai saat ini keberadaannya Wiji Thukul masih misteri apakah ia masih hidup atau sudah tiada.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang Usai Peristiwa Kudatuli 1996", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2021/07/27/15370351/mengenang-wiji-thukul-aktivis-yang-hilang-usai-peristiwa-kudatuli-1996?page=all.
Penulis : Wahyuni Sahara
Editor : Wahyuni Sahara

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L